Perjanjian Renville – Sejarah Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka telah melewati proses yang panjang. Salah satu proses tersebut yaitu penandatanganan perjanjian-perjanjian antara pihak penjajah dengan Indonesia. Dalam hal ini, perjanjian Renville menjadi salah satu perjanjian yang bersejarah dalam kemerdekaan indonesia.
Lebih jelasnya, artikel ini akan membahas mengenai perjanjian Renville dan pengaruhnya bagi negara Indonesia. Hal ini termasuk definisi, latar belakang, signifikansi, tokoh, dan keadaan pasca penandatanganan dari perjanjian tersebut.
Selayang Pandang Perjanjian Renville
Perjanjian ini diadakan di atas kapal USS Renville, yang merupakan kapal milik Amerika Serikat, pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun garis besar dari perjanjian ini yaitu persetujuan antara pihak Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia dalam pembagian wilayah kekuasaan.
Penandatanganan perjanjian ini merupakan suatu upaya lanjutan dari gagalnya Perjanjian Linggarjati di tahun 1946. Oleh karena itu, perjanjian ini ditujukan untuk menengahi perselisihan antara kedua belah pihak yang masih belum ditemukan titik tengahnya. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dilanjutkan dengan latar belakang penandatanganannya.
Latar Belakang Ditandatanganinya Perjanjian Renville
Perjanjian Linggarjati di tahun 1946 membahas mengenai pembentukan negara federal yang diberi nama Indonesia Serikat. Dalam hal ini, telah ditentukan pembagian kekuasaan untuk setiap negara bagian. Pun begitu, perjanjian Linggarjati gagal dan menyisakan masalah yang nyatanya masih belum dapat terselesaikan sehingga konflik Belanda dan kaum Republikan masih berlanjut.
Sebelumnya, memang pihak Republik dan Kerajaan Belanda sepakat untuk menghentikan penyerangan dan melakukan gencatan senjata sejak 17 Agustus 1947. Gencatan senjata ini semestinya harus dipertahankan setidaknya hingga perjanjian berikutnya dilakukan. Hal tersebut atas mandat dari Dewan Keamanan PBB yang dilontarkan pada tanggal 1 Agustus 1947.
Pun begitu, adanya gencatan senjata ini bukan merupakan sebuah resolusi dari sengketa yang ada. Kedua belah pihak saling menganggap pihak lain telah melanggar isi dari perjanjian Linggarjati. Belanda melanjutkan operasi militer mereka, pindah ke wilayah republik di Jawa dan Madura. Sementara itu, Republikan mencari bantuan di luar negeri seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dewan PBB kemudian menawarkan mediasi dengan membentuk Good Offices Committee (GOC) atau dikenal juga sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini terdiri dari Belgia yang merupakan pihak yang ditunjuk oleh Kerajaan Belanda. Sementara itu, Republik Indonesia kemudian memilih Australia. Terakhir adalah Amerika Serikat sebagai pihak mediator atas kesepakatan dari kedua belah pihak.
Tokoh-Tokoh Penting yang Terlibat
Banyak tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perjanjian Renville karena melibatkan beberapa negara. Beberapa nama dari Indonesia yang berkontribusi dalam perjanjian ini yaitu Amir Syafaruddin yang merupakan Perdana Menteri Indonesia sekaligus menjadi ketua delegasi.
Selain itu, ada pula wakil delegasi Indonesia Dr. Johannes Leimena yang saat itu menjabat sebagai seorang menteri. Sementara Haji Agus Salim, Dr. Coa Tik Len, dan Nasrun juga turut hadir sebagai anggota dan saksi untuk pihak Republik.
Di sisi lain, delegasi dari Kerajaan Belanda diketuai R. Abdulkadir Widjojoadmodjo yang merupakan seorang kolonel dari Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL). Di sisi lain, Van Vredenburg, Peter John Koets, dan Chris Soumokil duduk di kursi hadirin sebagai anggota.
Selain itu, Komisi Tiga Negara (TKN) juga tentunya hadir untuk membantu Belanda dan Indonesia menyelesaikan masalah mereka. Dalam hal ini, Frank Graham juga sebagai ketua perwakilan dari pihak Amerika Serikat dan mediator PBB. Hadir pula Paul van Zeeland sebagai perwakilan dari Belgia, dan Richard Kirby dari Australia.
Isi Dalam Perjanjian Renville
Konferensi dalam kapal perang USS Renville tersebut berlangsung selama dua hari, yaitu 17 – 19 Januari 1948. Dalam dua hari itulah, dihasilkan beberapa putusan atau kesepakatan sebagai berikut:
1. Pengakuan Belanda
Poin pertama dalam isi perjanjian ini yaitu mengenai pengakuan Belanda terhadap beberapa wilayah milik Republik. Lebih jelasnya, Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Sumatra, dan Jawa Tengah sebagai hak wilayah Republik Indonesia. Sementara wilayah-wilayah lain menjadi milik Kerajaan Belanda.
2. Penetapan Garis Demarkasi
Selanjutnya, garis demarkasi atau garis batas juga merupakan isi dari perjanjian ini. Adapun wilayah dari Republik Indonesia dan daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Belanda dipisahkan secara tegas oleh garis demarkasi. Garis demarkasi ini sendiri lebih dikenal dengan nama garis van Mook, diambil dari nama Hubertus van Mook yang mencetuskannya.
3. Penarikan Pasukan Keamanan
Isi selanjutnya yaitu mengenai penarikan pasukan keamanan. Dalam hal ini, Tentara Negara Indonesia (TNI) harus segera dipaksa mundur dari wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda, khususnya Jawa Timur dan Jawa Barat. Peristiwa penarikan tentara ini juga dikenal dengan nama Hijrah.
4. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS)
Di sini, Belanda masih berhak mengawasi kedaulatan Republik Indonesia sebelum dibentuknya negara federal RIS. Dalam hal ini, Republik Indonesia nantinya juga akan direncanakan bergabung dalam RIS dengan aturan yang berdasar pada Konstituante RIS.
Polemik Pasca Penandatanganan
Bagi Indonesia, perjanjian yang ditandatangani di atas kapal perang USS Renville ini memberikan kerugian. Meskipun telah ada jaminan atau janji dalam melakukan penjajakan untuk menentukan status daerah (plebisit), wilayah kekuasaan Republik menjadi sangat berkurang.
Plebisit tersebut diperuntukkan bagi wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra yang diduduki oleh Kerajaan Belanda. Nantinya, masyarakat di wilayah tersebut akan menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan Republik atau justru memilih untuk menjadi negara yang terpisah.
Hal ini bukan sebuah keuntungan besar bagi Republik—Indonesia—meskipun masyarakat di wilayah tersebut diprediksi akan memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Sebab, wilayah Republik Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda.
Lalu, mengapa Indonesia menyetujui isi perjanjian yang merugikan ini? Persetujuan Indonesia hanya sebagai siasat semata mengingat persenjataan perang yang semakin menipis. Jadi, pihak Republik berusaha untuk mengulur waktu dengan persiapan perjanjian Renville, sementara mereka juga bersiap bangkit untuk pertempuran selanjutnya.
Hal ini kemudian mengawali peristiwa Agresi Militer Belanda II pada Desember 1949. Untungnya, kaum Republik telah siap untuk melawan segala bentuk penyimpangan perjanjian dari Belanda. Mereka kemudian mengobarkan perang gerilya yang mengakibatkan Belanda akhirnya meninggalkan kakinya dari tanah Republik pada tahun 1949.
Kesimpulan dari Perjanjian
Dari deretan proses yang ada, dari gencatan senjata hingga dua hari konferensi, dapat disimpulkan bahwa perjanjian Renville gagal. Hal ini dapat dilihat dari Agresi Militer Belanda II yang kemudian melatarbelakangi pertempuran senjata yang baru. Lebih jelasnya, dalam agresi ini pihak Belanda masih ingin merebut Yogyakarta dari Republik.
Sama seperti perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville gagal untuk menyelesaikan sengketa wilayah Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Selain itu, Indonesia merupakan pihak yang paling dirugikan dalam perjanjian ini. Selain semakin menyempitnya wilayah kekuasaan, kegiatan ekonomi Republik Indonesia juga masih diikut-campuri oleh Kerajaan Belanda.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa proses penandatanganan perjanjian di atas kapal USS Renville nyatanya tidak membuahkan hasil. Meskipun telah melibatkan peran dari Komisi Tiga Negara, kedua belah pihak sama-sama tidak puas dengan hasil perjanjian Renville. Terlebih lagi Indonesia yang merasa sebagai pihak yang dirugikan karena masih belum terbebas dari pengaruh Kerajaan Belanda.